OPINI TOKOH

WARTO 22 September 2020 21:24:27 WIB

MEMBANGUN GUNUNGKIDUL BERBASIS AIR, SEBUAH BUDAYA

Oleh Sukadiyono

 

               Dengan asumsi tidak ada peresapan, tidak ada run off, tidak ada penguapan dengan cara apapun maka dalam satu tahun Gunungkidul akan diselimuti air setebal 2,25 meter. Atau akan tertimbun air dengan volume sebesar  3342 juta meter kubik  dengan bobot setara 3342 juta ton. Ini bisa dihitung melalui rata-rata curah hujan tahunan kurang lebih sebesar 2250 mm dikalikan luas wilayah Gunungkidul 1485,36  km persegi. Luar biasa!

              Yang jadi persoalan adalah kenyataan bahwa setelah hujan selesai maka air hujan akan segera habis melalui beberapa cara. Pertama, melalui run off yang merupakan bagian terbesar kehilangan air.  Run off ini ada dua jalur, melalui sungai permukaan dan melalui sungai bawah tanah. Kedua melaui peresapan, dan ketiga melalui penguapan. Dalam pembahasan ini, kategori penguapan diabaikan.

              Run off dan peresapan merupakan dua hal yang saling bertolak belakang. Semakin kecil peresapan akan semakin besar run off demikian sebaliknya makin besar peresapan akan memperkecil run off. Aspek inilah yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sesuai dengan salah satu misi pembangunannya, yaitu peningkatan pemanfaatan air sebagai sumber kemakmuran. Sebuah realita bahwa faktor pembatas keberhasilan pembangunan di Gunungkidul adalah keberadaan sumber daya air. Dengan mengelola sumber daya air secara lebih arif dan progresif, akselerasi pembangunan di wilayah ini akan lebih mudah tercapai.

              Menurut ramalan (penulis menyebut estimasi) pujangga besar Raja Joyoboyo bangsa kita akan menemui zaman kesengsaraan atau  zaman kolobendu, apabila tanda-tanda (fenomena) ini  telah banyak muncul secara kasat mata di seluruh wilayah. Tanda-tanda itu antara lain; kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange, dan wong lanang ilang kawibawane. Pada tulisan ini penulis membatasi pada fenomena kali ilang kedunge.

              Kedung dalam pemahaman dan konsep budaya Jawa merupakan kubangan atau cekungan besar pada badan sungai yang berfungsi sebagai tampungan, sumber, atau mata air.  Mengingat air sebagai sumber kehidupan, dengan demikian, keberadaan kedung merupakan manifestasi dari kemakmuran masyarakat di sekitarnya.  Hal ini dapat kita lihat kebelakang bahwa pada masa lalu, menyertai keberadaan kedung ini, di sana ada budaya ekonomi, budaya ketahanan pangan, budaya sosial, budaya pelestarian lingkungan hidup, bahkan budaya kesetaraan gender yang pada masa kini banyak dibicarakan..

              Budaya ekonomi, di sekitar kedung, melalui usaha setrenan banyak ditanam aneka jenis tanaman pangan dan hortikultura baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk keperluan dijual kepasar. Budaya ketahanan pangan, melalui usaha setrenan yang telah disebutkan di muka, di sana ada diversifikasi pangan dan gizi, di kedung juga ada usaha perikanan meskipun secara liar (dalam konteks kekinian bisa dikembangkan keramba apung), juga ada peternakan (kedung digunakan untuk memandikan ternak). Budaya sosial, di sana merupakan tempat mandi, cuci, bermain, dan bercengkerama bersama sebagai sarana silaturahmi dan membangun kebersamaan serta kegotong-royongan.

                Budaya pelestarian lingkungan hidup, ketika kedung masih diagungkan dan di ‘puja’, pada masa lalu banyak dilakukan upacara-upacara ritual yang maksud dan tujuan utamanya adalah untuk melestarikan dan mensyukuri keberkahan dari keberadaan kedung tersebut. Budaya kesetaraan gender diwujudkan dalam budaya budidaya setrenan. Setrenan berasal dari kata setri (perempuan). Dengan demikian budaya budidaya setrenan merupakan manifestasi kesetaraan gender dengan menempatkan harkat dan martabat perempuan untuk ikut berperan serta dalam membangun budaya ketahanan pangan.

                 Akhirnya, untuk mewujudkan kemakmuran Gunungkidul dengan basis air, sudah selayaknya diwujudkan dengan aksi nyata membangun banyak kedung-kedung yang selama ini hilang. Kedung-kedung tersebut dapat dibangun secara artificial di sepanjang sungai-sungai yang memungkinkan. Di wilayah ini banyak sungai-sungai yang masih mampu  menahan air meskipun musim kemarau.

                Beberapa keuntungan bisa dipetik dari keberadaan kedung-kedung artificial ini. Antara lain ;  akan memperluas bidang peresapan air kedalam tanah sehingga akan memperbesar cadangan air tanah. Kedua akan meningkatkan produksi pertanian. Ketiga akan meningkatkan usaha peternakan karena di sekitar kedung bisa dikembangkan usaha hijauan pakan ternak. Tentu masih banyak manfaat lain yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gunungkidul. (Pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 27 November 2013)

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

Terjemah